Selasa, 15 Desember 2009

HUKUM DI INDONESIA RASA NANO-NANO

Setelah proses yang panjang dan lama akhirnya Prita Mulya Sari diputuskan bersalah oleh pengadilan negeri Tangerang, Banten. Prita bersalah karena telah mencoreng nama baik Rumah Sakit Omni Internasional, dan oleh karenanya ia dikenai hukuman selam enam bulan penjara dan denda sebesar 204 juta rupiah.

Kejadian ini menimbulkan antipati masyarakat dan rasa kurang percaya terhadap proses hukum di Indonesia. Masyarakat beranggapan hukum di Indonesia bagaikan sebuah pisau yang dibagian atasnya tumpul tapi bagian bawahnya tajam sekali, begitupun hukum di Indonesia, sangat keras dalam mengadili orang kecil, tapi kepada orang yang berduit sangatlah tumpul.

Kenapa masyarakat beranggapan demikian? Karena baru-baru ini bukan hanya Prita saja yang mengalami nasib yang sama, Udin, seorang sopir dari sebuah perusahaan dijatuhkan hukuman lima tahun penjar selama lima tahun karena kedapatan membawa sebutir pil Extasi, padahal menurut pengakuannya bahwa pil haram itu bukan miliknya sama sekali. Sangat ironis dengan seorang jaksa yang menjual ratusan pil haram yang hanya dihukum satu tahun penjara. Padahal jelas-jelas bahwa ia mengaku telah menjualnya, bahkan pil extasi itu adalah barang bukti dari pengadilan, bukan miliknya.

Selain prita dan Udin terdapat juga kasus yang membuat saya ingin tertawa memperhatikannya, yaitu kasus Nenek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao seharga Rp2.100. Beban psikologis juga harus ditanggung nenek berusia 65 tahun itu karena harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Kisah serupa juga dialami dua warga Kediri, Jawa Timur, Basar Suyanto dan Kholil. Keduanya terpaksa berurusan dengan polisi karena kedapatan mencuri sebuah semangka. Keduanya sempat merasakan pengapnya ruang tahanan, sebelum akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kediri. Keluarga Basar pun mengaku sempat ditipu anggota polisi membayar Rp1 juta agar kasusnya dihentikan.

Mari kita bandingkan dengan kasus Bank Century, aprat tidak dapat pelakunya karena bukti-bukti yang dikumpulkan masih belum cukup untuk menjebloskan pelakunya kedalam ruang jeruji besi, padahal pelakunya sudah dipastikan bersalah karena telah menggelapkan uang Triliunan rupiah.

Pada waktu hampir bersamaan, Anggodo Widjojo justru mendapatkan perlakukan istimewa dari aparat penegak hukum. Dia tetap bebas berkeliaran meski terindikasi kuat merekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK. Indikasi itu didukung adanya transkrip rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Enam tuduhan pelanggaran hukum, termasuk salah satunya tuduhan pencemaran nama baik Presiden, pun tak mampu menyeret adik koruptor Anggoro Widjojo itu ke balik jeruji besi. Besarnya tekanan dari publik seolah tak didengar aparat penegak hukum. Justru dengan alasan keamanan, polisi malah mengawal Anggodo selama 24 jam nonstop.

Manisnya wajah hukum juga dinikmati Ketua DPRD Jawa Tengah periode 1999-2004 Mardijo yang terbukti menilep duit APBD sebesar Rp14,8 miliar. Atas kejahatannya itu, Mardijo hanya dihukum percobaan dua tahun penjara.

Pantas saja banyak orang yang mengatakan bahwa keadilan di negeri kita multirasa, kadang terasa pahit, asam ataupun manis seperti permen Nano-nano. Pahit bagi Prita, Udin, Nenek Minah dan banyak lagi orang yang dirugikan oleh hokum. Tetapi manis rasa hokum itu bagi pelaku Bank Centuri, Anggodo dan Mardijo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar